Satu jam berlalu, aku sampai di tempat yang ia bilang padaku. Tempat itu adalah tempat kesukaannya, karena rindang dan banyak anak-anak bermain. Tapi itu dulu, sekarang tempat ini sudah seperti kuburan. Sepi dan hanya terdengar hembusan angin. Aku segera mencari tempat duduk sambil menunggunya dengan cemas. Arloji di tanganku terus bergerak, hingga jarumnya menunjukkan jam empat pas.
Bersamaan dengan itu muncul sebuah sedan hitam. Aku menatapnya, masih dengan kecemasan. Dari pintu belakang keluar dua anak laki-laki. Mereka langsung berkejar-kejaran di tempat itu. Di pintu sopir, akhirnya muncullah ia. Orang yang kutunggu-tunggu.
Dia mengenakan kemeja lengan panjang berwarna merah, dipadukan denganrok hitam polos. Rambutnya dikuncir dengan ikat rambut hijau polkadot. Ikat rambut yang pernah kuberikan untuknya dulu. Dia melambai, aku membalas lambaiannya.
‘’Kemarilah!’’
Aku sedikit berteriak.
‘’Ya, tunggu
sebentar!’’ Dia membalas teriakanku, ‘’Masuk dulu ya, nanti aku kembali.’’
Ucapnya pada dua anak kembar yang tengah bermain itu.
Ah, aku
tersenyum tipis. Suara lembutnya memang tak pernah berubah sejak dulu.
Dia lalu
berjalan dan duduk di sampingku. Tak ada pelukan atau kecupan. Jelas saja, dia
pasti sudah bersuami. Mana mungkin aku berani menyentuh istri seseorang. Kami
diam sejenak. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku mencoba membuka
percakapan, tapi di dalam otakku saja.
Bagaimana
harimu? Kerja dimana sekarang? Itu sedan keluaran tahun berapa? Ori tidak? Wow,
kamu tambah cantik saja! Hei, mau makan soto tidak? Ah, orang gila mana yang makan soto di siang terik begini? Aku
merutuki kepalaku yang berputar mencari percakapan.
‘’Pasti sedang
berpikir.’’
Aku tersentak
dari lamunanku mendengar kata darinya. Dia tersenyum kepadaku, aduh manis
sekali!
‘’Eh, eh, ya
begitulah,’’ aku mencoba tenang, walau kepalaku masih berputar, ‘’Sedang
berusaha mencari percakapan pembuka.’’
Dia tertawa
kecil, ‘’Kamu masih belum menghilangkan kebiasaan itu.’’
‘’Memang itu
termasuk kebiasaan?’’ Aku mencoba ngeles.
‘’Lho, hampir
setiap saat kamu begitu.’’
‘’Nggak,
jarang.’’
‘’Jangan cari
alasan ya, dulu pas masih pacaran siapa yang begitu?’’
Perkataan
terakhirnya langsung membuat senyumku pudar. Dia sepertinya menyadari
kesalahannya dan berkata lirih, ‘’Maaf, aku lupa.’’
Aku memaksa
senyum. ‘’Santai, udah lama juga.’’
‘’Maaf. Aku
beneran lupa kalau kamu nggak suka begitu.’’
Dia menunduk,
masih merasa bersalah. Aku diam. Benar, aku tidak suka saat dia mengungkit
kembali tentang masa lalu. Diantara semua orang, mungkin hanya dia yang paling
mengerti dan paling hafal bagaimana sifatku.
‘’Hei, tenang.
Untuk kali nggak apa-apa, kita sudah lama tidak bertemu kan?’’ Aku mencoba
menghibur.
Dia masih belum
mengangkat kepalanya. Hanya menatap ke tanah yang kami pijaki berdua. Ya,
begitulah dia sejak dulu. Jika merasa bersalah, maka dia akan terus merasa
tidak enakan sampai menundukkan kepala lama sekali. Kalau sudah begitu, maka
bakso kantin adalah tujuanku agar dia tidak begitu lagi. Tapi masalahnya tidak
ada yang jualan bakso disini. Hanya angin sepoi-sepoi saja.
‘’Mau bakso?’’
Entah bagaimana
kalimat itu keluar dari mulutku. Ajaib, senyumnya muncul lagi sambil menatapku
penuh harap. Sungguh? Bakso?
Aku balas
menatapnya dengan senyum. Yang benar saja, mana ada bakso di tempat ini.
‘’Tempat ini
dulu bagus, kan? Bunga dimana-mana, pohon rindang, ayunan, dan penjual es tebu.
Hehehe.’’ Dia akhirnya tidak sedih lagi.
‘’Iya, memang
bagus. Tapi entah kenapa aku masih bingung kenapa kamu selalu mau kesini.’’ Aku
tertawa kecil.
‘’Hei, memang
kenapa? Salah?’’
‘’Bukan begitu.
Setauku perempuan lain selalu meminta ke mall, ke kebun binatang, ke kafe, ke
tempat mewah. Sedangkan kamu selalu ngotot kesini, bahkan pernah menyembunyikan
dompetku.’’
‘’Astaga,
sepuluh tahun berlalu dan kamu masih ingat perihal dompet itu?’’
‘’Tentu saja.
Terima kasih karena sudah membuatku panik 24 jam sampai melapor ke polisi.’’
‘’Eh, maaf.
Hehehehe. Kamu sih, nggak mau diajak kesini. Padahal tinggal antar aja.’’
‘’Jauh, bensin
mahal.’’
‘’Cuma 15
menit, astaga.’’
‘’Lama itu.
Lima belas menit bisa kupakai untuk main di warnet.’’
‘’Dasar!’’
Kami bercerita
tentang taman itu. Sesekali dia menunjuk ke arah wahana main yang sudah usang, namun
tentu saja favoritnya adalah ayunan. Aku meledeknya, ayunan itu akan patah jika
dia yang main. Dia cemberut, memajukan mulutnya dua senti. Tawaku semakin
keras, begitu pula sebaliknya. Sore itu, aku merasa kembali ke masa laluku.
Kembali saat masa sekolah. Ketika aku mengenalnya, mencoba dekat, mencoba terus
di sebelahnya, dan memperjuangkannya.
Tapi itu sudah
bukan urusanku. Sudah bukan urusannya lagi. Sudah bukan kesibukanku lagi. Itu
hanyalah bab kecil yang berusaha kubuat saat SMA. Kini semua berubah. Hidup
harus terus berjalan. Jika tetap terpaku pada hal itu, maka aku takkan berada
disini. Dan dia juga layak mendapatkan pria yang lebih baik dan mapan dariku.
Bukankah memang begitu seharusnya?
Tidak mungkin
kami bersama jika aku masih egois untuk memilikinya. Segala cerita di tempat
yang telah mati ini hanyalah sebuah ketidaksengajaan. Ketika SMA, aku menjalin
hubungan dengannya. Lumayan lama, sampai dua tahun. Namun ketika lulus, aku
menyadari realita hidup. Dia dapat melanjutkan kuliah, sedang aku harus segera
mencari kerja karena kendala biaya.
Sepuluh tahun
berpisah, tidak sengaja kami bertemu di kantor tempat aku bekerja sekarang.
Saat itu dia sendirian. Dia lalu mengajakku bertemu di tempat ini, taman yang
sangat dia sukai. Kukira saat itu dia lajang, namun melihat dua anak kembar itu
sudah cukup menyiratkan bahwa kesempatanku untuk memilikinya adalah nol besar.
Arloji
menunjukkan jam setengah enam. Sudah saatnya aku kembali. Bukan ke rumah, atau
ke kantor. Melainkan ke masa sekarang. Tidak baik jika aku berlama-lama disini
bersama istri orang.
‘’Sudah hampir
malam. Saatnya pulang.’’ Ucapku.
Dia berhenti
bicara. Menatapku dengan tatapan yang, entahlah. Sebuah tatapan yang pilu. Mengapa
dulu kau meninggalkanku?
Tidak, aku
tidak pernah begitu. Aku menjawab tatapannya.
‘’Masih bisakah
kita kembali bersama?’’ Dia bertanya sebelum pergi.
‘’Bagaimana
dengan kedua anakmu itu?’’ tanyaku.
Dia tertawa.
‘’Mereka bukan anakku. Mereka anak kakakku. Dia sedang ada kesibukan.’’
Aku terkejut.
Ternyata aku salah besar.
‘’Kukira kau
menikah, hahahahaha.’’ Aku tersenyum.
‘’Jadi apa
jawabanmu?’’ tanyanya lagi.
Aku menatap
matanya. Dia menatapku. Menunggu jawaban.
‘’Maaf, Kinan.
Bagiku, semua sudah selesai.’’ Ucapku.
Tak lama
kemudian, sedan miliknya pergi. Meninggalkanku sendiri. Sampai jumpa, Kinan.
0 Comments
Posting Komentar